top of page
Delfina Paulin

Tantangan Ekonomi dan Ketidakpastian Global, Siapa Takut?



Delfina Paulin

Juara Ketiga dalam Lomba Menulis Artikel Pajak MIB 2022

*Artikel hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia


Pada saat ini, dunia sedang berada dalam kondisi yang tidak baik diakibatkan masih adanya wabah COVID-19. Bukan hanya itu, perang antara Rusia dan Ukraina juga menandakan tidak sehatnya dunia ini. Hal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakpastian pada perekonomian dunia. Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina memicu terjadinya inflasi yang tinggi, yang mana berpotensi menyebabkan resesi ekonomi pada beberapa negara dan menekan pertumbuhan ekonomi global. Bahkan OECD ("Organization for Economic Co-operation and Development") menyatakan bahwa perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 akan mengalami penurunan dari perkiraan sebesar 4,5% menjadi sebesar 3%. Inflasi tersebut dapat terpicu karena Rusia dan Ukraina merupakan produsen utama dari beberapa komoditas yang diperlukan dunia. Rusia merupakan eksportir utama energi dan gandum, sementara Ukraina merupakan eksportir utama jagung, gandum, dan biji minyak. Perang antar kedua negara tersebut menyebabkan pasokan energi ke Eropa yang terhambat dan terganggunya rantai pasokan beberapa komoditas yang diperlukan industri. Bukan hanya COVID-19 dan perang antara Rusia dan Ukraina saja yang menjadi penyebab utama terjadinya resesi global, namun juga disebabkan oleh dua penyebab lainnya. Pertama, dikarenakan adanya peningkatan pada inflasi dan suku bunga, yang mana menjadi penyebab dari krisis biaya hidup. Kedua, dikarenakan adanya perlambatan ekonomi Tiongkok yang menjadi raksasa ekonomi dunia.


Walaupun kondisi-kondisi tersebut menyebabkan resesi ekonomi dan menekan pertumbuhan ekonomi, namun ternyata perekonomian Indonesia masih menunjukkan hasil yang membanggakan. Berdasarkan data BPS ("Badan Pusat Statistik"), diketahui bahwa terdapat pertumbuhan yang tinggi pada ekonomi Indonesia pada triwulan II 2022 di tengah peningkatan tekanan inflasi dan risiko pelemahan ekonomi global. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2022 yang mencapai 5,44%, yang mana berada jauh di atas pencapaian triwulan I 2022 sebesar 5,01%. Hasil tersebut juga tercermin melalui indikator pendapatan perpajakan. Per Agustus 2022, DJP ("Direktorat Jenderal Pajak") Kementerian Keuangan mencatat adanya penerimaan pajak sebesar Rp1.171,8 triliun dengan target sebesar Rp1.485 triliun. Penerimaan pajak tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, tren peningkatan harga komoditas, adanya pengaruh dari penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ("UU HPP"), rendahnya basis pada tahun 2021 akibat pemberian insentif fiskal, pertumbuhan konsumsi rumah tangga, peningkatan investasi, serta peningkatan ekspor yang signifikan.


Selama pandemi COVID-19, kebijakan pajak telah mengalami beberapa perubahan, seperti kebijakan insentif pajak untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional dan perluasan basis perpajakan melalui pengesahan UU HPP. Pada tahun 2022, basis perpajakan semakin diperluas, yakni dengan Pajak Pertambahan Nilai ("PPN") Perdagangan melalui Sistem Elektronik ("PMSE"), Pajak Fintech, Pajak Kripto, serta penyesuaian tarif PPN per 1 April 2022. Melalui PPN PMSE, penerimaan PPN yang diterima adalah sebesar Rp8,17 triliun. Melalui Pajak Fintech yang mulai berlaku per 1 Mei 2022, penerimaan pajak yang diterima adalah sebesar Rp74,44 miliar dari Pajak Penghasilan ("PPh") 23 dan sebesar Rp32,81 miliar dari PPh 26. Melalui Pajak Kripto yang mulai berlaku per 1 Mei 2022, penerimaan pajak yang diterima adalah sebesar Rp60,76 miliar dari PPh 22 atas transaksi melalui penyelenggara PMSE dalam negeri dan penyetoran sendiri, dan sebesar Rp65,99 miliar dari PPN atas pemungutan oleh non-bendahara. Melalui penyesuaian tarif PPN, penerimaan pajak yang diterima adalah sebesar Rp7,28 triliun pada Agustus 2022.


Walaupun target penerimaan pajak tahun 2023 adalah sebesar Rp1.718,03 triliun, namun Menteri Keuangan optimis bahwa target pajak tersebut akan tercapai di tengah terjadinya resesi. Hal ini dikarenakan berjalan dengan baiknya dunia usaha atau perusahaan. Pengamat pajak dari TRI ("Tax Research Institute") juga menyetujui bahwa target pajak tersebut akan tercapai karena sejalan dengan aktivitas ekonomi yang membaik, serta perbaikan tingkat konsumsi dan permintaan dalam negeri yang tetap solid. Berdasarkan penjelasan dalam Buku Nota Keuangan RAPBN ("Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara") 2023, terdapat beberapa strategi kebijakan fiskal yang akan diterapkan guna tercapainya target penerimaan pajak di tengah ancaman inflasi dan ketidakpastian ekonomi kedepannya.


Strategi Kebijakan Fiskal untuk Penerimaan Pajak Indonesia

Strategi pertama adalah melakukan tren peningkatan pajak dengan menjaga efektivitas penerapan UU HPP. Penerbitan UU HPP merupakan bagian dari reformasi pajak dan konsolidasi fiskal, sehingga diharapkan dapat terlaksana dengan efektif dalam membangun fondasi fiskal yang kokoh.


Strategi kedua adalah menggali potensi dengan ekstensifikasi dan intensifikasi untuk memperkuat basis pemajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Ekstensifikasi dilakukan melalui pembaruan sistem core tax dan aplikasi CRM ("compliance risk management"), sementara intensifikasi dilakukan melalui penyesuaian klaster tarif progresif PPh dan penyesuaian tarif PPN.


Strategi ketiga adalah memberikan insentif fiskal pada kegiatan ekonomi strategis dengan dampak berganda yang kuat bagi perekonomian. Kemungkinan insentif yang diberikan adalah berupa relaksasi tarif PPN dari 11% menjadi 8% agar terjaganya konsumsi rumah tangga di tengah resesi dan pelemahan daya beli. Selain itu, pemerintah juga berkemungkinan memberikan insentif pajak kepada sektor properti, ritel, dan tekstil.


Strategi keempat adalah melakukan optimalisasi perpajakan dengan memperkuat pengawasan dan menegakkan hukum. Alat yang dimanfaatkan untuk melaksanakan strategi keempat ini adalah sistem core tax dan aplikasi CRM.


Strategi kelima adalah meningkatkan penerimaan pajak dengan memperhatikan daya beli masyarakat. Pemerintah dapat menyediakan insentif yang sesuai kepada masyarakat apabila konsumsi mengalami penurunan akibat resesi, agar konsumsi dapat kembali seperti semula.


Strategi keenam adalah memastikan pencapaian target penerimaan pajak dilakukan dengan cermat agar konsolidasi fiskal terhadap PDB ("Produk Domestik Bruto") berjalan dengan baik.


Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa dunia berkemungkinan akan mengalami resesi pada tahun 2023, namun pemerintah Indonesia telah mengantisipasi hal tersebut, yang mana dicerminkan melalui kinerja perekonomian Indonesia triwulan II 2022 yang sangat membanggakan. IMF ("International Monetary Fund") juga memperkirakan masih tumbuhnya perekonomian Indonesia dengan solid pada kisaran 5%. Pertumbuhan tersebut memang masih lebih lambat dibandingkan perkiraan akhir tahun ini di angka 5,3%, namun masih tergolong baik dibandingkan banyak negara, terutama negara ASEAN lainnya. Indonesia berkemungkinan untuk mengalami perlambatan ekonomi pada masa resesi global nantinya, terutama pada sektor ekspor, namun tidak terlalu signifikan. Walaupun demikian, penerimaan perpajakan Indonesia tahun 2023 akan tetap mampu mencapai target dengan adanya strategi yang telah dibahas dan dijelaskan dalam RAPBN 2023.


 

Hubungi Kami


Marketing Communications at MIB


📧 communications@mib.group

📞 +6281911880099


MIB is a group of certified and registered professionals in Indonesia, where each member has a unique set of skills and expertise. Each member is independent, compliant with our standards, and responsible for the works and services provided to the clients.

 


17 tampilan

Comments


bottom of page