top of page
  • Hanifa Fitra Humaira Ludin & Firyal Alvivah Safana

PSAK 73: Perlakuan Akuntansi & Perpajakan Atas Sewa



Dewan Standar Akuntansi Keuangan mengesahkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 tentang Sewa yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2020. Sebelumnya, akuntansi tentang sewa diatur dalam PSAK 30. Alhasil, adanya PSAK 73 ini pun mengubah pencatatan akuntansi terkait dengan sewa.


Perlakuan Akuntansi


Sebelum disahkannya PSAK 73, akuntansi sewa dibagi menjadi dua jenis, yaitu sewa operasi (operating lease) dan sewa pembiayaan (finance lease). Sewa akan diklasifikasikan sebagai sewa operasi jika sewa tersebut tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset pendasar (underlying asset). Dengan kata lain, apabila entitas menyewa suatu barang, tetapi barang tersebut tidak sepenuhnya berada pada kontrol penyewa dan penyewa tidak menanggung seluruh risiko terkait barang tersebut, maka sewa tersebut diklasifikasikan sebagai sewa operasi. Di lain sisi, sewa akan diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Pencatatan akan kedua jenis sewa tersebut tentunya berbeda.


Adanya PSAK 73 menyebabkan perubahan signifikan dalam pengklasifikasian transaksi sewa, khususnya dari sisi penyewa (lessee). Adapun dari sisi pesewa (lessor), tidak terdapat perubahan aturan pencatatan antara PSAK 30 dengan PSAK 73.


Menurut PSAK 73, penyewa (lessee) akan mencatat transaksi sewa sebagai sewa pembiayaan (finance lease) kecuali untuk hal-hal yang diatur lain. Pengecualian dapat dilakukan untuk sewa yang berjangka pendek (kurang dari 12 bulan) dan bernilai rendah (praktik internasional adalah sebesar ≤$5,000). Sebelum disahkannya PSAK 73, penyewa bisa saja menerapkan akuntansi sewa operasi apabila memenuhi kriteria yang diatur dalam PSAK. Namun, dengan adanya PSAK 73, penyewa secara umum hanya menerapkan akuntansi sewa pembiayaan. Perbedaan pencatatan antara kedua PSAK tersebut dapat dilihat pada ilustrasi pada tabel berikut:


*Apabila sewa diklasifikan sebagai sewa operasi

**Sewa harus diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan


Sementara itu, untuk pesewa (lessor), tidak terdapat perubahan signifikan antara PSAK 30 dan PSAK 73. Dalam akuntansi untuk pesewa, sewa tetap diklasifikasikan menjadi menjadi 2 jenis: sewa operasi dan sewa pembiayaan. Terdapat perbedaan pencatatan antara sewa operasi dan sewa pembiayaan. Secara umum, perbedaan tersebut dapat dilihat dari ilustrasi sebagai berikut:


*Jurnal dapat berbeda tergantung dari payment terms yang diterapkan


Transaksi Sewa Menurut Perpajakan


Lain halnya dengan PSAK 73, sewa menurut peraturan perundang-undangan perpajakan tetap dibedakan menjadi dua jenis yakni finance lease dan operating lease, baik untuk pesewa (lessor) maupun untuk penyewa (lessee). Perpajakan terkait transaksi sewa ini salah satunya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 (“KMK-1169”). Dalam Pasal 2 ayat (1) KMK-1169 dijelaskan bahwa aktivitas sewa dibedakan menjadi dua jenis :

  1. Sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease)

  2. Sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease)


Selain PSAK 73, kriteria leasing menurut KMK-1169 juga bisa menimbulkan perbedaan identifikasi antara akuntansi dan pajak, sehingga dapat mempengaruhi perlakuan perpajakan.


Berdasarkan KMK-1169, pesewa (lessor) adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha (saat ini OJK). Berdasarkan definisi ini, tidak semua transaksi sewa pembiayaan menurut akuntansi bisa dikategorikan sebagai transaksi sewa pembiayaan menurut pajak. Apabila tidak memenuhi kriteria leasing/sewa pembiayaan ini, maka transaksi tersebut bisa saja dikategorikan sebagai penyerahan barang kena pajak atau kategori lain yang lebih sesuai.


Berdasarkan Pasal 3 KMK-1169, untuk dapat digolongkan sebagai kegiatan sewa-guna-usaha dengan hak opsi maka perlu memenuhi semua kriteria berikut:

  1. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan pesewa (lessor);

  2. masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan; dan

  3. perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi penyewa (lessee).


Lalu berdasarkan Pasal 4 KMK-1169, kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua kriteria:

  1. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh pesewa (lessor); dan

  2. perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi penyewa (lessee).


Perlakuan perpajakan untuk kedua jenis sewa tersebut lebih lanjut diatur pada Pasal 14 s.d. Pasal 19 KMK-1169:


*Ketentuan PPN yang diatur KMK-1169 tidak lagi sesuai dengan ketentuan pajak terbaru pada Pasal 16 UU PPN yang mengatur bahwa jasa keuangan dibebaskan


Implikasi PPh Badan


Terdapat perbedaan antara perlakuan pajak dan akuntansi. Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan, transaksi sewa tentunya didasarkan pada klasifikasi sewa menurut perpajakan. Akibatnya, perbedaan tersebut mengharuskan adanya rekonsiliasi fiskal/koreksi fiskal untuk kepentingan perpajakan. Berikut adalah rekonsiliasi fiskal yang timbul akibat perbedaan tersebut (untuk aset selain tanah dan bangunan):


1. Sewa Pembiayaan secara Akuntansi dan Sewa dengan Hak Opsi secara Pajak


Penyewa (lessee)


Pesewa (lessor)


2. Sewa Pembiayaan secara Akuntansi dan Sewa tanpa Hak Opsi secara Pajak


Penyewa (lessee)


Pesewa (lessor)


3. Sewa Operasi secara Akuntansi dan Sewa tanpa Hak Opsi secara Pajak


Penyewa (lessee)

Berdasarkan PSAK 73, penyewa (lessee) tidak lagi mengakui adanya sewa operasi. Sehingga, seluruh transaksi sewa dicatat sebagai sewa pembiayaan.


Pesewa (lessor)


Implikasi PPh Potput


Adanya PSAK 73 menimbulkan perbedaan antara identifikasi sewa secara akuntansi dan identifikasi sewa secara pajak yang mempengaruhi perhitungan pajak penghasilan. Sebagai contoh, dalam hal sewa harta, secara akuntansi, sesuai dengan PSAK 73, transaksi sewa tersebut dicatat dan diidentifikasi oleh penyewa (lessee) sebagai sewa pembiayaan. Namun, dalam hal perhitungan pajak, perlu diteliti lebih lanjut bagaimana perlakuan perpajakannya. Sebab, bisa jadi yang dalam akuntansi adalah sewa pembiayaan ternyata merupakan sewa operasi dalam perpajakan.


Apabila secara pajak transaksi sewa harta tersebut memenuhi kriteria sewa pembiayaan sesuai KMK-1169/1991, maka transaksi tersebut bukan objek pemotongan PPh 23 bagi penyewa (lessee). Hal ini diatur dalam Pasal 23 ayat (4) UU No. 7/1983 s.t.d.t.d No. 7/2021 yang menyatakan bahwa pemotongan PPh 23 tidak dilakukan atas sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi. Namun, apabila secara pajak transaksi sewa harta tersebut merupakan sewa operasi, maka transaksi sewa tersebut dapat menjadi objek pemotongan PPh.


Dalam hal transaksi sewa yang dilakukan berupa penyewaan kapal dan/atau pesawat kepada pihak lain dalam arti sewa kapal tanpa awak, maka dikenakan PPh 23 atas pembayaran sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebesar 2% dari jumlah bruto. Sedangkan jika transaksi sewa kapal disertai pemberian jasa pelayaran dan/atau jasa penerbangan berdasarkan perjanjian charter berupa pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain, meliputi semua bentuk charter, termasuk sewa ruangan kapal dan/atau pesawat akan dikenakan PPh 15 yang dikenakan atas peredaran bruto. Tarif PPh 15 diatur lebih lanjut pada Keputusan Menteri Keuangan No. 416/KMK.04/1996.


Selain itu, terdapat aspek potong pungut lainnya yang dapat dikenakan dalam transaksi leasing, yakni atas persewaan atas tanah dan/atau bangunan yang dikenakan PPh 4 ayat (2) Final dengan tarif sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan (Pasal 4 (2) d UU PPh jo PP No. 34 Tahun 2016).

Implikasi PPN


Mengacu pada KMK-1169/1991, akuntansi atas transaksi leasing memiliki dampak ke perhitungan Pajak Pertambahan Nilai. Secara akuntansi, perjanjian sewa diidentifikasi dan dicatat sebagai sewa pembiayaan. Namun, secara pajak, perlu diteliti lebih lanjut atas kontrak serta bukti pendukung untuk menentukan apakah transaksi sewa tersebut merupakan sewa operasi atau sewa pembiayaan.


Apabila secara pajak merupakan sewa operasi (sewa biasa), maka transaksi sewa tersebut terutang PPN (saat ini sebesar 11%). Pesewa (lessor) akan memungut PPN kepada penyewa (lessee) dan mengakui adanya PPN Keluaran. Sementara itu, penyewa (lessee) akan dipungut PPN oleh pesewa (lessor) dan mengakui adanya PPN Masukan.


Di lain sisi, ketentuan PPN yang diatur oleh KMK-1169 tidak lagi sesuai dengan ketentuan pajak pada Pasal 16 ayat (1b) UU No. 8/1983 s.t.d.t.d. UU No. 7/2021 (“UU PPN”). Pada KMK-1169, disebutkan bahwa sewa guna usaha dengan hak opsi tidak terutang PPN. Lain halnya dengan UU PPN yang menyatakan bahwa sewa guna usaha dengan hak opsi dibebaskan.


Berdasarkan penjelasan Pasal 16 ayat (1b) UU PPN, jasa pembiayaan merupakan salah satu jasa kena pajak tertentu dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dimana pada UU PPN, jasa pembiayaan tersebut salah satunya mencakup sewa guna usaha dengan hak opsi.


Aturan lebih lanjut terkait PPN dibebaskan ini diatur dalam PP Nomor 49 Tahun 2022 Pasal 14 yang menjelaskan bahwa sewa guna usaha dengan hak opsi dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.


Ilustrasi


PT Lessee menyewa suatu mesin milik PT Lessor. PT Lessee sepakat untuk menyewa aset tersebut selama 5 tahun, dengan jangka waktu dari 1 Januari 2019 s.d 31 December 2023. PT Lessee akan membayar sewa sebesar Rp5,500/tahun, dimulai dari awal masa sewa, 1 Januari 2019. Pada 31 December 2023, PT Lessee akan mengembalikan mesin tersebut kepada PT Lessor dan tidak akan memperpanjang sewa. Perkiraan nilai residu yang akan dikembalikan kepada PT Lessor adalah sebesar Rp3,000.


PT Lessor telah memiliki izin dari OJK untuk melakukan kegiatan sewa guna usaha. PT Lessor memperoleh aset tersebut dengan biaya Rp25,000 dan umur aset selama 10 tahun. Selama disewakan kepada PT Lessee, segala risiko terkait mesin tersebut akan ditanggung oleh PT Lessee. Selain itu, PT Lessor tidak bisa menggunakan aset mesin tersebut.


Berdasarkan perhitungan, diketahui bahwa implicit interest rate lessor adalah sebesar 9.564%.


Bagaimana pencatatan akuntansi dari transaksi di atas? Lalu, bagaimana perlakuan pemajakannya?


Penyewa (lessee)

Berdasarkan PSAK 73, PT Lessee harus mencatat transaksi di atas menggunakan sewa pembiayaan. Dalam sewa pembiayaan, seluruh transaksi sewa harus dicatat pada laporan posisi keuangan. Untuk memudahkan penjurnalan, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:


1) Menentukan Jumlah Liabilitas Sewa dan Aset Hak Guna

Untuk mendapatkan nominal aset hak guna dan liabilitas sewa, perlu dihitung terlebih dahulu nilai kini dari pembayaran sewa dengan mengalikan pembayaran dengan faktor pendiskonto.


2) Menentukan Amortisasi Liabilitas Sewa

*Saldo awal liabilitas sebesar 17,600 telah memperhitungkan pembayaran pertama


Bunga dihitung dari saldo utang dikalikan dengan implicit interest ratelessor sebesar 9.564%


3) Menentukan Depresiasi Aset Hak Guna


Aset hak guna didepresiasi sepanjang masa sewa, yaitu 5 tahun. Dengan menggunakan metode garis lurus, didapatkan depresiasi per tahun sebesar Rp4.620,00 (Rp23.100,00 : 5 tahun).


4) Menjurnal


Setelah melakukan perhitungan dan membuat tabel-tabel yang dibutuhkan, jurnal dapat dibuat dengan mengacu pada tabel-tabel tersebut. Berikut adalah contoh jurnal untuk sewa periode pertama:


Karena pada akhir periode PT Lessee akan mengembalikan mesin kepada PT Lessor, maka jurnal yang akan dibuat adalah sebagai berikut:


Lalu, bagaimana klasifikasinya dari segi perpajakan? Dari segi perpajakan, tidak terdapat hak opsi dalam transaksi di atas. Sebab, pada akhir masa sewa, tidak terdapat hak untuk PT Lessee membeli mesin tersebut ataupun memperpanjang perjanjian sewa-guna-usaha. Karena tidak memiliki hak opsi, maka sewa ini dikategorikan sebagai sewa operasi. Terdapat beberapa perbedaan yang mengharuskan adanya rekonsiliasi fiskal. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:



Selain itu, berdasarkan KMK-1169, sewa operasi terutang PPN dan merupakan objek pemotongan PPh 23 (bukan tanah dan bangunan). Maka, jurnal akuntansi pajak yang akan dibuat PT Lessee pada pembayaran sewa periode 1 adalah:



Pesewa (Lessor)

Berdasarkan PSAK 73, PT Lessor perlu mengidentifikasi jenis sewa apa yang diterapkan untuk transaksi dengan PT Lessee. Transaksi dengan PT Lessee ini memenuhi kriteria sewa pembiayaan, sebab sewa ini mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan aset mesin yang disewakan. Hal ini dapat diketahui dari informasi yang menyatakan bahwa selama disewakan, PT Lessee menanggung seluruh risiko terkait aset dan PT Lessor tidak dapat menggunakan atau menerima manfaat dari aset mesin tersebut.


Untuk memudahkan pencatatan akuntansi, dapat dibuat tabel sebagai berikut:

Pendapatan bunga didapatkan dari saldo piutang sewa dikalikan dengan implicit interest rate pesewa (lessor) sebesar 9.564%. Dalam hal penjurnalan, pendapatan bunga sudah harus diakui pada akhir tahun. Sebagai contoh, PT Lessor akan mengakui pendapatan bunga sebesar Rp1,865 pada 31 December 2019 dan sebesar Rp1,517 pada 31 December 2020.


Saldo piutang awal sebesar 19,500 didapatkan dari 25,000 (biaya perolehan mesin) dikurangi dengan 5,500 (pembayaran yang telah dilakukan di awal periode, 1 Januari 2019).


Berikut adalah contoh penjurnalan yang dibuat oleh PT Lessor untuk sewa periode pertama:

Karena pada akhir periode PT Lessor akan mendapatkan kembali mesin dari PT Lessee, maka jurnal yang akan dibuat adalah sebagai berikut:


Lalu, dari sisi perpajakan, karena tidak memiliki hak opsi, maka sewa ini diklasifikasikan sebagai sewa operasi. Terdapat beberapa perbedaan yang mungkin mengharuskan adanya rekonsiliasi fiskal. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:


Kemudian, berdasarkan KMK-1169, dalam sewa operasi, pembayaran sewa seluruhnya merupakan objek PPh. Selain itu, transaksi ini terutang PPN dimana PT Lessor memungut PPN kepada PT Lessee. Maka, jurnal akuntansi pajak yang akan dibuat oleh PT Lessor pada saat menerima pembayaran periode 1 adalah:


Berdasarkan pemaparan ilustrasi di atas, baik dari sisi penyewa (lessee) maupun pesewa (lessor), perbedaan klasifikasi sewa antara akuntansi dan fiskal seringkali terjadi. Maka, penting bagi wajib pajak untuk memahami kriteria-kriteria sewa berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku.


 
Dasar Hukum
  1. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 73 tentang Sewa

  2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2021

  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor. 1169/KMK.01/1991

  4. Surat Edaran SE-29/PJ.42/1992 tentang Perlakuan PPh Terhadap Kegiatan Sewa-Guna-Usaha (Leasing)

 
Hubungi Kami

Marketing Communications at MIB

📧 communications@mib.group

📞 +62 819 1188 0099


MIB adalah grup profesional bersertifikat dan terdaftar di Indonesia, di mana setiap anggota memiliki keahlian yang unik. Setiap anggota bersifat independen, mematuhi standar kami, dan bertanggung jawab atas pekerjaan dan layanan yang diberikan kepada klien.

 

6.328 tampilan

Berlangganan

Terima kasih telah berlangganan!

© 2023 MIB 

MIB adalah grup profesional bersertifikat dan terdaftar di Indonesia, di mana setiap anggota memiliki keahlian yang unik. Setiap anggota bersifat independen, mematuhi standar kami, dan bertanggung jawab atas pekerjaan dan layanan yang diberikan kepada klien.

bottom of page