top of page
Maulana Ibrahim & Gabriel Muara Thobias

Program Pengungkapan Sukarela Untuk Peserta Tax Amnesty



Untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak Peserta Tax Amnesty mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta, Pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan Program Pengungkapan Sukarela (“PPS”) untuk Wajib Pajak Peserta Pengampunan Pajak (“Tax Amnesty”).


Pengertian


PPS adalah pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi peserta Tax Amnesty untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta.


Pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak peserta Tax Amnesty untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran Pajak Penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta Tax Amnesty.


Manfaat Mengikuti PPS


  1. Tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak.

  2. Data/informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kemenkeu atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan dengan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.


Peserta PPS


Peserta PPS adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang telah mengikuti program Tax Amnesty.


Basis Pengungkapan PPS


Basis pengungkapan PPS adalah nilai Harta bersih. Harta bersih merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Harta bersih yang diungkapkan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.


Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang:

  1. diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015;

  2. masih dimiliki pada akhir Tahun Pajak 2015; dan

  3. belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.


Penentuan Nilai Harta dan Nilai Utang


Nilai Harta ditentukan berdasarkan kondisi dan keadaan Harta pada akhir Tahun Pajak Terakhir dihitung sebesar:

  1. nilai nominal, untuk Harta berupa kas atau setara kas;

  2. nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak, untuk tanah dan/atau bangunan dan nilai jual kendaraan bermotor, untuk kendaraan bermotor;

  3. nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak;

  4. nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran (warrant) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia; dan/atau

  5. nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk Surat Berharga Negara dan efek bersifat Utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan.


Dalam hal tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman, nilai Harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik.


Nilai Utang yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta merupakan nilai utang yang berkaitan secara langsung dengan perolehan Harta dengan ketentuan berikut:

  1. Untuk Wajib Pajak badan paling banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai Harta tambahan; atau

  2. Untuk Wajib Pajak orang pribadi paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai Harta tambahan.

Dalam hal nilai Harta dan nilai Utang menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta dan nilai Utang ditentukan dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs pajak yang berlaku pada akhir Tahun Pajak terakhir.


Tarif Pajak

Tarif

Harta Bersih

Ketentuan Investasi

6%

Harta bersih yang berada di dalam wilayah NKRI

Diinvestasikan pada:

  1. Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI; dan/atau

  2. Surat Berharga Negara;

8%

Harta bersih yang berada di dalam wilayah NKRI

Tidak diinvestasikan pada:

  1. Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI; dan/atau

  2. Surat Berharga Negara;

6%

​Harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan ke dalam wilayah NKRI.

Diinvestasikan pada:

  1. Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI; dan/atau

  2. Surat Berharga Negara;

8%

Harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan ke dalam wilayah NKRI.

Tidak diinvestasikan pada:

  1. Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI; dan/atau

  2. Surat Berharga Negara;

11%

Harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI.

Tata Cara Mengikuti PPS


Wajib Pajak mengungkapkan harta bersih dengan menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta (“SPPH”) dengan bentuk e-form kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui situs DJPonline sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022.


SPPH harus dilengkapi dengan:

  1. NTPN sebagai bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final;

  2. daftar rincian harta bersih yang belum atau kurang dilaporkan dalam Surat Pernyataan;

  3. daftar utang;

  4. pernyataan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah NKRI, dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi bermaksud mengalihkan harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI ke dalam wilayah NKRI; dan

  5. dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi bermaksud menginvestasikan harta bersih, Wajib Pajak Orang Pribadi harus memberikan pernyataan akan menginvestasikan harta bersih pada:

  6. kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI; dan/atau

  7. surat berharga negara.

  8. pernyataan mencabut permohonan dan daftar rincian permohonan yang dicabut, dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.

Atas penyampaian SPPH, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan.


Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi lain mengenai nilai Harta bersih yang belum atau kurang diungkap, maka Nilai Harta bersih tersebut diperlakukan sebagai penghasilan dan peserta PPS akan dikenakan sanksi berikut:

  1. nilai harta bersih tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 25% untuk Wajib Pajak Badan, 30% untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, dan 12,5% untuk Wajib Pajak Tertentu; dan

  2. sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak.


Tata Cara Pembayaran PPS


Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final dibayarkan ke kas negara melalui bank persepsi, pos persepsi, atau lembaga lainnya dengan menggunakan surat setoran pajak atau kode billing dengan kode akun pajak 411128 (empat satu satu satu dua delapan) dan kode jenis setoran 427 (empat dua tujuh). Pembayaran tidak dapat dilakukan dengan Pemindahbukuan.


Setelah melakukan pembayaran, peserta PPS akan menerima bukti penerimaan negara sebagai bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final yang telah divalidasi dengan NTPN.


Tata Cara Pembetulan SPPH


Wajib Pajak Peserta Tax Amnesty dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak dalam hal terdapat:

  1. kesalahan penulisan atau kesalahan penghitungan Wajib Pajak dalam pengisian SPPH;

  2. penambahan Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPPH;

  3. pengurangan Harta bersih yang telah diungkapkan dalam SPPH;

  4. perubahan penggunaan tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final atas pengungkapan Harta bersih; dan/atau

  5. keadaan lain yang mengakibatkan ketidakbenaran SPPH sebelumnya.


Penyampaian SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya dapat dilakukan dalam periode 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.


SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya memuat:

  1. seluruh Harta bersih setelah perubahan yang terdiri atas Harta bersih yang tidak dilakukan perubahan; Harta bersih yang diubah, selain yang dihapus; dan Harta bersih yang baru diungkapkan, dari yang tercantum dalam SPPH sebelumnya; dan

  2. perbaikan kesalahan penulisan, perbaikan kesalahan penghitungan, dan/atau perubahan penggunaan tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final.


Dalam hal berdasarkan hasil perhitungan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya terdapat:

  1. jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final yang kurang dibayar, Wajib Pajak harus melunasi kekurangan pembayaran tersebut sebelum SPPH tersebut disampaikan; atau

  2. jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final yang lebih dibayar, Wajib Pajak dapat meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atau melakukan pemindahbukuan, atas kelebihan setoran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Atas penyampaian SPPH, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan.


Surat Keterangan yang diterbitkan untuk penyampaian SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya menggantikan Surat Keterangan yang diterbitkan sebelumnya.


Tata Cara Pencabutan SPPH


Pencabutan SPPH dapat dilakukan dalam periode 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Pencabutan SPPH dapat dilakukan dalam jangka waktu 24 jam sehari dan 7 hari seminggu dengan standar waktu Indonesia barat.


Pencabutan SPPH dilakukan Wajib Pajak dengan menyampaikan SPPH dengan mengisi kolom Harta, Utang, dan Harta bersih dengan nilai 0.


Atas penyampaian SPPH, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 hari kerja sejak SPPH disampaikan.


Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai akibat dicabutnya SPPH, Wajib Pajak dapat meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atau melakukan pemindahbukuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Terhadap Wajib Pajak yang mencabut SPPH berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. Surat Keterangan yang telah diterbitkan atas SPPH yang disampaikan sebelum penyampaian pencabutan SPPH, batal demi hukum;

  2. Surat Keterangan berlaku sebagai tanda bukti pencabutan SPPH;

  3. Wajib Pajak dianggap tidak melakukan pengungkapan Harta bersih;

  4. kepada Wajib Pajak tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dan/atau Pasal 22 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021; dan

  5. Wajib Pajak tidak dapat menyampaikan kembali SPPH.


Dalam hal terdapat putusan banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali atas Wajib Pajak yang mencabut SPPH, putusan tersebut menjadi dasar Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan tindak lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Contoh Ilustrasi Program Pengungkapan Sukarela Untuk Peserta Tax Amnesty


Tuan David merupakan Wajib Pajak Peserta Tax Amnesty. Namun, ia menyadari terdapat harta miliknya berupa rumah KPR di BSD yang belum dilaporkan senilai Rp5 Miliar dengan KPR Rp3 Miliar yang masih belum dibayar. Harta tersebut telah ia peroleh pada Tahun 2010. Tuan David berniat untuk mengikuti PPS. Apa yang harus dia lakukan?


Tuan David dapat mengikuti PPS paling lambat pada akhir Juni 2020. Untuk mengikuti PPS, Tuan David harus menghitung harta bersih yang belum diungkap yakni nilai harta dikurangi dengan nilai utang sebesar maksimum 50% dari nilai Harta. Jadi nilai harta bersih yang belum diungkap adalah sebesar Rp2,5 Miliar.


Setelah itu, Tuan David harus melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Final dengan tarif 8% karena tidak diinvestasikan ke sektor energi baru terbarukan dan/atau Surat Berharga Negara dengan perhitungan sebagai berikut :

8% x Rp2,5 Miliar = Rp200.000.000


Pembayaran tersebut dilakukan ke kas negara melalui bank persepsi dengan menggunakan surat setoran pajak atau kode billing dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 427. Setelah itu, Tuan David akan menerima NTPN.


Setelah melakukan pembayaran, Tuan David harus menyampaikan SPPH secara elektronik melalui website DJP. Kemudian, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Tuan David paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan.

 

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak

  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela

 

Hubungi Kami


Marketing Communications at MIB


📧 marketing.communications@mib.group

📞 +6281911880099


MIB adalah grup profesional bersertifikat dan terdaftar di Indonesia, di mana setiap anggota memiliki keahlian yang unik. Setiap anggota bersifat independen, mematuhi standar kami, dan bertanggung jawab atas pekerjaan dan layanan yang diberikan kepada klien.

 

31 tampilan

Comments


bottom of page