Photo of a factory chimney. Photo by Anne Nygard on Unsplash.
Menurut pendapat dari Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, pajak karbon yang disiapkan dalam rangka memerangi perubahan iklim dunia juga dapat berpengaruh terhadap ‘iklim’ perekonomian Indonesia. Pajak karbon dianggap dapat membantu menciptakan lingkungan investasi di Indonesia menjadi lebih go green atau lebih ramah lingkungan.
Pajak karbon sendiri memiliki rencana diimplementasikan sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam mencapai target yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (“NDC”). Melalui perjanjian ini, Indonesia ditetapkan untuk memiliki level emisi sebesar 31,89% di tahun 2030 atau setara dengan 915 juta emisi CO2. Angka ini naik dari target sebelumnya yang merupakan 29%.
Selain itu, Climate Budget Tagging (“CBT”) yang dimiliki oleh Indonesia telah terkumpul sebesar Rp502 triliun atau US$34 miliar dalam rangka menangani perubahan iklim di Indonesia. Jumlah anggaran ini telah dikumpulkan sejak tahun 2016 hingga tahun 2021. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”) pun difokuskan untuk menangani perubahan iklim, dan CBT merupakan mekanisme yang dipakai pada tingkat daerah serta nasional.
Pajak karbon sebelumnya akan diimplementasikan di Indonesia di tahun 2022 dengan sasaran utama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (“PLTU”). Namun, karena adanya hambatan dari segi aturan teknis dan kebijakan, pengenaannya ditunda sebanyak 2 (dua) kali, yakni pada bulan April 2022 dan bulan Juli 2022. Implementasi dari pajak karbon sendiri juga tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP yang menyebut mekanisme cap and trade sebagai mekanisme yang akan digunakan untuk pengenaan pajak karbon Indonesia.